Skip to main content

Featured

"Orang Pendek" bukan Sekedar Mitos.

- 2014 Akhir tahun 2014, saya ketika itu bepergian ke daerah Bengkulu. Ketika itu saya memilih jalan darat, karena selain lebih murah, perjalanan darat juga memberi suatu hal yang saya sebut sebagai "perjalanan yang sesungguhnya". Saat itu saya menggunakan jasa suv yang di jadikan travel.   Singkat cerita, saya memasuki perbatasan Lampung - Bengkulu melewati daerah bergunung dengan hutan lebat. Driver menyebut daerah ini dengan nama Hutan Lindung. Kemudian saya menyimpulkan bahwa kawasan ini sebenarnya adalah bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Salah satu kawasan Taman Nasional terluas dan terkaya di bumi sumatera ini membentang dari Lampung hingga ke Bengkulu.   Seperti biasa, dalam perjalanan saya mengobrol bebas dengan penumpang lain dan driver tentunya sampai akhirnya masuk ke sebuah cerita yang di sampaikan Driver dengan logat khas bengkulu itu. "Dulu kalau saya lewat sini, sering banyak anak kecil pak". Anak kecil macam apa yan

Sejarah Prestasi Sepakbola Indonesia

ADA mata rantai yang terputus untuk kebangkitan sepakbola Indonesia. Biang utama penyebabnya adalah mismanajemen. Tak mengherankan bila prestasi kesebelasan nasional Indonesia Yunior tidak berlanjut ke prestasi kesebelasan nasional Indonesia Senior. Nah kalau pun mulai tahun 2009 ini ada kompetisi Indonesia Super League (ISL) U-21 tetapi gregetnya belum meyakinkan. Karena ternyata tidak semua dari 18 anggota klub ISL mengikuti kompetisi. Maklum tidak semua klub anggota memiliki tim yuniornya. Padahal dalam aturan ISL, hal ini sudah menjadi keharusan.

Tetapi mengapa di tahun 1972 dan tahun-tahun sebelumnya prestasi timnas Indonesia Yunior selalu bisa berlanjut ke prestasi timnas Indonesia yang hebat? Coba perhatikan data berikut ini:

Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
(Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1

Coba bandingkan dengan prestasi timnas Indonesia Senior berikut:

Turnamen Merdeka Games 1960: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1961: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1966: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1967: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969: Indonesia Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1970: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup, Bangkok 1971: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup II 1972: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul 1972: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Singapura 1972: All Indonesian Final (A&B)

Kalau melihat data di atas secara gamblang terlihat ada keterlanjutan antara prestasi timnas Indonesia Yunior ke prestasi timnas Indonesia Senior. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena pada jaman itu Indonesia cukup dengan mengandalkan talenta luar biasa yang dimiliki para pemainnya yang dilatih secara baik oleh pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik. Plus “manajemen dari hati ke hati” oleh para pengurus PSSI yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain sehingga daya juang pemain meningkat, meskipun mereka hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Yang ada adalah iming-iming heroik: “Akan diterima oleh Presiden RI, Bung Karno, di Istana Merdeka jika berhasil menjadi juara”. Maklum saja, soal dana PSSI semata-mata hanya mengandalkan hasil jualan karcis manakala timnas Indonesia melawan kesebelasan asing kelas dunia main di stadion Senayan, Jakarta. Ditambah sedikit saja dari para donatur gila bola. Sementara pada sisi lain, di hampir semua negara Asia belum ada kompetisi sepakbola profesional. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat seperti sekarang ini.

Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan itu dulu dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dicukur oleh Soetjipto Soentoro dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1969. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an).

Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri, Anwar Ujang dan Yudo Hadiyanto pun sebenarnya mau ditarik oleh AFC (Asian Football Confederation) untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.

Jepang pun Belajar ke Indonesia

Bahkan untuk masalah manajemen sepakbola, Jepang benar-benar belajar dari Indonesia manakala mereka mempersiapkan J-League. Mengapa? Karena Indonesia sudah memiliki liga sepakbola utama Galatama yang dimulai tahun 1979 di era Ali Sadikin. Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) memperkuat Niac Mitra dan Jairo Matos (Brazil) memperkuat Pardedetex, Medan.

Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia karena konon mafianya berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung pernah menghancurkan tim Galatama Arema Malang di stadion Gajayana Malang, dengan skor telak 4-0 pada tahun 1984.

Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena Jepang memiliki manajemen bagus ditopang dana yang banyak . Sehingga setiap klub mampu merekrut sedikitnya tiga pemain berstandar Eropa atau dunia. Ditambah industri negaranya yang sangat maju dan mau menjadi sponsor J-League. Semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi.

Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Jepang sekarang adalah mirip bahkan melebihi Indonesia pada jaman keemasan dulu. Sekarang timnas Indonesia belum pernah menang lagi lawan kesebelasan nasional Jepang. Jepang jadi pelanggan wakil Asia bersama Korsel ke Piala Dunia. Bahkan sekarang pemain-pemain Indonesia sudah kalah sebelum bertanding bila mendengar nama besar Nakamura dkk.

Garuda didadaku, Garuda kebanggaanku, kuyakin hari ini pasti menang.
Kobarkan semangatmu, tunjukkan sportifitasmu, kuyakin hari ini pasti menang.


Sumber: kaskus.us

Comments

Post a Comment

Popular Posts