Skip to main content

Featured

"Orang Pendek" bukan Sekedar Mitos.

- 2014 Akhir tahun 2014, saya ketika itu bepergian ke daerah Bengkulu. Ketika itu saya memilih jalan darat, karena selain lebih murah, perjalanan darat juga memberi suatu hal yang saya sebut sebagai "perjalanan yang sesungguhnya". Saat itu saya menggunakan jasa suv yang di jadikan travel.   Singkat cerita, saya memasuki perbatasan Lampung - Bengkulu melewati daerah bergunung dengan hutan lebat. Driver menyebut daerah ini dengan nama Hutan Lindung. Kemudian saya menyimpulkan bahwa kawasan ini sebenarnya adalah bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Salah satu kawasan Taman Nasional terluas dan terkaya di bumi sumatera ini membentang dari Lampung hingga ke Bengkulu.   Seperti biasa, dalam perjalanan saya mengobrol bebas dengan penumpang lain dan driver tentunya sampai akhirnya masuk ke sebuah cerita yang di sampaikan Driver dengan logat khas bengkulu itu. "Dulu kalau saya lewat sini, sering banyak anak kecil pak". Anak kecil macam apa yan

Antara Kursi PSSI dan Ruang Penjara

Catatan Sepakbola
Alesa Khiried - detikSport
Kamis, 15/03/2012 11:17 WIB
 
Jakarta - Suatu hari sekelompok mantan dan beberapa pengurus sepakbola bertandang ke rumah salah satu dukun ternama. Perwakilan rombongan bertanya kepada sang dukun; "Mbah, kapan Indonesia bisa lolos Piala Dunia?"

Si mbah menjawab: "Jangankan lolos, delapan tahun lagi Indonesia juara dunia!" Mendengar jawaban si dukun tua, seluruh rombongan tertawa lebar sembari melanjutkan pertanyaan: "Wah, berarti kami-kami ini nanti akan kecipratan bonus dan pangkat kehormatan dari negara?"

Si Mbah: "Mereka juara saat kalian semua masuk penjara!"

******

Cerita di atas hanyalah humor fiksi belaka. Namun layaknya kisah jenaka yang tertuang dalam fiksi di atas, begitulah gambaran kondisi sepakbola Indonesia saat ini. Mungkin di hanya Indonesia, aksi para pengurus sepakbola lebih menonjol dibandingkan prestasi para pemainnya.

Pemain kini jadi penonton "pertandingan" olah kata para pengurus. Perang kata-kata pengurus bola lebih mendominasi isi pemberitaan media massa dibanding cerita soal pertandingan di lapangan. Masyarakat kini sulit membandingkan mana berita politik dengan berita sepakbola nasional.

Di pihak lain, pemain jadi korban yang terjebak dalam pusaran konflik dua kelompok besar sepakbola Indonesia; ISL dan IPL. Apa lacur, karena sudah mengikat perjanjian kerja dengan klub, para pemain itu terpaksa harus ikut salah satu arus kompetisi.

Ketidakberdayaan pemain pun makin menjadi saat jatuhnya sanksi larangan tampil di timnas dari FIFA. Di tengah situasi lara para pemain sepakbola, para kelompok yang berseteru masih asyik menari di atas penderitaan mereka.

Yang kelompok ISL menuding PSSI telah melakukan diskriminasi dengan melarang pemain unuk mengenakan baju tim nasional. Sebaliknya, PSSI berkilah pada surat FIFA yang menyebut hanya pemain dari liga resmi federasilah yang dibolehkan bermain di level internasional.

Lucunya lagi, apa yang ditampilkan para kelompok yang berseteru ini tidak ubahnya sebuah aksi watak para pelakon sinetron. Jika waktu bisa diputar kembali, marilah tengok momen pada Januari 2011.

Saat itu, kelompok ISL dengan perkataan yang mantab dan tegas, mendukung langkah FIFA yang memberi sanksi bagi pemain Liga Primer Indonesia (LPI). Tidak terbetik sedikitpun kata diskriminasi di benak para kelompok ISL.

Sebaliknya, kelompok LPI yang kini bermetamorfosis jadi IPL dengan lantang meneriakkan kata lawan pada setiap pelarangan pemain yang ingin memperkuat timnas. Semua momen paradoks setahun lalu itu membuktikan bahwa tidak selamanya kata pengurus sepakbola akan selalu sesuai dengan perbuatan mereka. Hal yang lebih menyerupai perilaku seorang politisi dibanding peran seorang pengurus hajat hidup jutaan pemain sepak bola di Indonesia.

Tidak hanya sebatas pertarungan watak, aksi para pengurus sepakbola pun semakin menjadi dengan banyaknya sandiwara yang dimainkan. Ada cerita soal pemecatan sepihak Alfred Riedl dengan skenario yang berubah serta kisah bersambung rapat Komite Eksekutif soal kompetisi.

Belum lagi seputar KPSI. Berawal dari persekutuan sejumlah anggota pengprov PSSI yang tergabung dalam FPP, sebuah komite yang menamakan diri sang penyelamat sepakbola dibentuk akhir Desember 2011. Komite ini mengklaim telah mendapatkan dukungan dari 2/3 anggota PSSI.

Pada Kamis 29 Desember 2011 di kantor PT Liga, Sekjen KPSI Hinca Panjaitan dengan lantangnya memperlihatkan buku tebal kepada wartawan. "Buku ini berisi surat mosi tidak percaya dari 452 anggota sah PSSI. Silakan saja PSSI lihat satu persatu. Ini sudah diperiksa dan verifikasi secara jelas. Silahkan bagi PSSI untuk mengeceknya satu per satu. Halaman per halaman," kata Hinca mantap.

Saat itu Hinca mengultimatum PSSI agar segera merampungkan proses verifikasi surat mosi tidak percaya. Ultimatum pun diberikan, jika dalam hitungan minggu PSSI tidak mengabulkan tuntutan Kongres Luar Biasa, maka KPSI akan mengambil alih jalannya organisasi.

Dalam hitungan minggu, tidak ada respon dari PSSI. KPSI yang mengaku memiliki legitimasi dari 452 anggota sah, memutuskan jalan sendiri; mengagendakan digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada18 Maret ini.

"KLB harga mati!" begitu slogan yang mantap disuarakan oleh KPSI. Usut punya usut, kata-kata lugas KPSI ternyata tidak selugas kebenarannya. Klaim 452 suara yang selalu mereka dengungkan ternyata hanya sebatas fiksi belaka.

Setelah PSSI mengeluarkan hasil verifiksi yang menyebut surat mosi tidak percaya KPSI hanya ditandatangani oleh kurang dari 2/3 anggota sah PSSI, KPSI mengeluarkan pengakuan baru. Mereka mengakui bahwa ada beberapa kesalahan dalam mengumpulkan surat dukungan.

Surat dukungan yang dobel adalah beberapa alasan yang dinilai KPSI lebih dikarenakan kealpaan dalam menyusun berkas mosi tidak percaya. Sebelum adanya hasil verifikasi PSSI, kealpaan—jika tidak bisa disebut kebohongan—KPSI soal 452 suara tetap dipertahankan di depan publik.

Bila selama ini KPSI selalu menyerukan bahwa PSSI jauh dari kebenaran, maka hal itu = KPSI. Celaka rasanya sepakbola Indonesia hanya berkutat pada pertarungan kelompok yang sejatinya lebih pandai berkata daripada membuktikan sumbangsih nyata.

PSSI contohnya yang tidak kunjung menghapus keringnya prestasi tim nasional. Sedangkan KPSI yang memayungi ISL, tetap mempertahankan wujud buram kompetisi sepakbola nasional yang diliputi tawuran, perkelahian di lapangan, dan kepemimpinan buruk wasit.

Kalaupun KPSI mau menyelamatkan sepakbola, bukankah itu merupakan sebuah bentuk pengakuan dosa atas dalapan tahun sumbangsih mereka menjorokkan sepakbola Indonesia ke jurang bahaya. Ya, para pengurus KPSI adalah para eks dan pengurus PSSI daerah dan pusat yang sudah kenyang kegagalan.

Delapan tahun memelintir statuta FIFA, puluhan tahun tanpa prestasi, serta berdasawarsa tanpa transparansi pengelolaan dana sepak, itulah sebenarnya bahaya sejati di sepak bola Indonesia.

Kini di saat sejumlah negara di Asia sibuk membongkar kejahatan di dunia sepakbolanya, sejumlah pengurus sepak bola Indonesia justru lebih serius berebut tongkat organisasi via KLB.

Walhasil publik pun dibuat samar, mana sebenarnya pihak penebar bahaya atau justru penyelamat sepakbola?

Sepotong harap hanya bisa dititipkan kepada siapapun pengurus sepakbola yang memang berniat memajukan sepakbola Indonesia. Jika niat Anda untuk perbaiki sepakbola, berkaryalah dengan sebaik-baiknya untuk prestasi di atas lapangan. Dan siapapun yang berniat merusak sepakbola, marilah insan PSSI dan segenap penegak hukum mengusutnya di peradilan

Karena hanya pengurus sejatilah yang akan mampu mengantarkan sepakbola Indonesia untuk bisa berprestasi baik. Sebaliknya tiada tempat yang pas bagi perusak sepakbola selain di ruang penjara!

Comments

Popular Posts