Skip to main content

Featured

"Orang Pendek" bukan Sekedar Mitos.

- 2014 Akhir tahun 2014, saya ketika itu bepergian ke daerah Bengkulu. Ketika itu saya memilih jalan darat, karena selain lebih murah, perjalanan darat juga memberi suatu hal yang saya sebut sebagai "perjalanan yang sesungguhnya". Saat itu saya menggunakan jasa suv yang di jadikan travel.   Singkat cerita, saya memasuki perbatasan Lampung - Bengkulu melewati daerah bergunung dengan hutan lebat. Driver menyebut daerah ini dengan nama Hutan Lindung. Kemudian saya menyimpulkan bahwa kawasan ini sebenarnya adalah bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Salah satu kawasan Taman Nasional terluas dan terkaya di bumi sumatera ini membentang dari Lampung hingga ke Bengkulu.   Seperti biasa, dalam perjalanan saya mengobrol bebas dengan penumpang lain dan driver tentunya sampai akhirnya masuk ke sebuah cerita yang di sampaikan Driver dengan logat khas bengkulu itu. "Dulu kalau saya lewat sini, sering banyak anak kecil pak". Anak kecil macam apa yan

Pentingnya Good Governance Sepakbola Indonesia

Jakarta  - Sudah beku, lalu buntu. Begitulah pertemuan antara Menteri Pemuda dan Olahraga dengan PT Liga Indonesia beserta klub-klub peserta Liga QNB 2015 Senin (27/4) kemarin, tepat sepuluh hari pasca pembekuan PSSI (17/4).

Walaupun, beku, buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar, saya justru berpikir sebaliknya. Mungkin ini titik balik reformasi sepakbola Indonesia, khususnya perihal tata kelola yang baik -- istilah baratnya; good governance (GG). Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip dan kata kunci dalam setiap perubahan GG. Dalam fase ini, keterbukaan, keterlibatan stakeholder dan partisipasi masyarakat menjadi batu uji pelaksanaan GG.

Mengapa saya percaya kebuntuan kemarin adalah titik balik, karena menurut saya ada hasil lebih krusial namun tertutup dengan pemberitaan deadlock dan ramainya #AkuiDuluPSSI di media sosial. Bahwa ketegasan Kemenpora mendorong perbaikan GG dan adopsi prinsip transparansi (tertuang dalam poin nomor 8 pernyataan resmi Kemenpora setelah pertemuan dengan PT. LI dan klub) yaitu: a). PT. Liga wajib membuka nilai kontrak komersial dengan BV Sport dan QNB. b). PT. Liga membuka berapa pembagian hak-hak komersial yang akan diterima oleh klub. c). PT. Liga menjelaskan kapan dan bagaimana hak lub dibayarkan sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Komitmen di atas kemudian dijelaskan lagi pada no. 9 bahwa tujuan perbaikan GG dan menegakkan prinsip transparansi disebutkan oleh Kemenpora bertujuan untuk penguatan stakeholder sepakbola khususnya klub dan pemain, pelatih serta ofisial. PT. Liga menurut Kemenpora harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memenuhi hak-hak klub. Jika hak-hak klub tidak jelas, bagaimana perhitungan dan prosentasenya dan kemudian juga kapan akan dipenuhi, maka klub akan kesulitan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Ujung-ujungnya, hak-hak pemain, pelatih dan ofisial yang akan dikorbankan. Begitulah tuntutan dan sekaligus kekhawatiran Kemenpora.

Lebih jauh, fase Kemenpora mendesak PT. LI untuk transparan merupakan sambungan rantai proses GG yang telah dilakukan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mendobrak GG di tingkat klub yaitu perihal laporan keuangan, NPWP, pajak dan tunggakan gaji pemain. Inilah fase awal yang harusnya berkelanjutan. Bagaimanapun, PT. LI sebagai operator kompetisi, yang sahamnya dimiliki oleh klub, harus bertanggung jawab memenuhi kewajiban terhadap klub-klub.

Pertanyaannya, kenapa klub-klub saat pertemuan kemarin justru lebih vokal meneriakkan tentang pengakuan PSSI yang sudah beku. Padahal, sebenarnya klub-klub justru telah dibela dan dijamin hak-haknya oleh Kemenpora dalam poin No. 8 dan 9. Menurut saya ini hal yang aneh.

Logika aneh ini juga sebelumnya pernah dirasakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saat itu Ahok melalui salah satu BUMD Jakarta yaitu PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) ingin membeli saham PT. Persija. Saat tawar menawar harga, Ahok tidak keberatan jika harus membeli dengan nilai ratusan miliar rupiah karena Persija kedapatan masih terikat utang hingga Rp 76 miliar. Ahok bahkan berani membeli Rp 100 miliar, jika manajemen Persija terbuka dan berkomitmen untuk perbaikan manajerial, agar ke depan mendapat banyak keuntungan dengan pengelolaan bisnis industri olahraga. Yang kemudian membuat Ahok heran, dengan tawaran investasi yang besar, manajemen Persija justru menolak dan tidak melanjutkan proses investasi dan pembelian.

Aneh rasanya, ada investor malah ditinggal lari. Di luar negeri, investor yang mau menanam modal di bidang sepakbola terus dicari. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena selama ini klub-klub tidak pernah menerapkan GG. Kenapa demikian, karena dalam pelaksanaan GG, harus ada komitmen transparansi dan akuntabilitas yang mengikat kepada publik dan stakeholder, dalam hal ini misalnya investor. Mungkin, kebiasaan yang ada saat ini, klub lebih suka menerima dana dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan membelanjakannya semaunya tanpa ada keterikatan transparansi dan akuntabilitas.

Untuk memutus logika sesat inilah desakan publik terkait GG dan transparansi kadang menjadi penting untuk mendorong kesadaran berpikir manajemen klub. Dalam konteks federasi, yaitu PSSI, proses mendorong transparansi dan akuntabilitas telah dilakukan secara hormat dan konstitusional oleh Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI). Upaya FDSI ini mungkin satu-satunya di dunia, bagaimana suporter dapat menggugat dan menang melawan federasi. Ini bisa terjadi karena di Indonesia, ada Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008. Dalam UU ini, PSSI dikategorikan sebagai badan publik (nonpemerintah) karena mendapatkan dana dari APBN, menggunakan fasilitas publik dan memperoleh dana dari masyarakat.
Kemenangan pertama FDSI diraih dalam sidang panjang majelis Komisi Informasi Pusat (KIP) sekitar Desember 2014. KIP memutuskan PSSI harus membuka laporan keuangan yaitu, tentang kontrak PSSI dengan stasiun televisi terkait hak siar tim nasional U-19, timnas U-23, dan timnas senior. Selain itu federasi juga harus membuka pengelolaan dana hak siar dan kerjasama sponshorship, rincian keuangan dan hasil audit keuangan PSSI, serta rincian laporan keuangan penyelenggaraan Kongres.

Selanjutnya, karena tidak puas, PSSI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Namun sayangnya kembali di kalah awal tahun 2015 ini. Saat ini PSSI sedang mengambil langkah hukum yaitu ke kasasi ke Mahkamah Agung.

Kembali kepada poin No. 8 dan 9 pernyataan Kemenpora. Semestinya, menurut saya, ini adalah paket yang lengkap. Mendorong keterbukaan PT. LI memang hanya bisa dilakukan oleh Kemenpora, karena bukan badan publik, tapi privat. Jadi, lengkap sudah ketika reformasi terjadi dari pusat kebawah yaitu, PSSI, PT. LI dan klub-klub dipaksa terbuka dan mempraktekkan GG dengan segala prinsip-prinsipnya. Inilah titik balik sesungguhnya reformasi sepakbola Indonesia. Bukan keberhasilan yang bersifat final memang, tapi ini modal awal yang bagus. Dengan syarat ini, investasi bisnis mendapatkan trust, sementara hak-hak pemain, pelatih, dan ofisial juga terjamin. Suporter juga mampu berkontribusi nyata dalam urusan ticketing yang transparan sebagai salah satu pemasukan klub.

Saya kok membayangkan, jika dorongan pemerintah dan publik sudah bertemu dan berproses mendorong reformasi GG di PSSI, PT. LI dan klub, maka akan terjadi lompatan perubahan. Instrumen stakeholder juga sudah dibangun, yang mana Kemenpora sudah menjalin kesepahaman (MoU) dengan KIP, KPK dan PPATK untuk terus mengawal proses GG di sepakbola dan olahraga lainya. Publik juga sudah mendukung, sehingga setiap argumentasi aneh klub dan PSSI yang tertutup selalu mendapat gelombang kritik masyarakat. Dalam bayangan saya ini, saya kok merasakan sebuah optimisme, gairah dan arus perubahan baru dari dapur sepakbola Indonesia.

Bayangan sekaligus harapan selanjutnya akan lebih sempurna sebelum Liga kembali bergulir lagi -- itu pun kalau jadi. Menpora harus kembali menagih kewajiban PT. Liga terkait transparansi keuangan, hak siar dan sponsorship dan kewajiban terhadap klub. Terkait transparansi PSSI, biarlah hukum di MA yang akan menjadi landasannya.

Selanjutnya, sebelum kic- off liga lanjutan, perlu ada penandatanganan pakta integritas bersama antara Kemenpora, PT. Liga dan klub terkait dengan GG dan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan dan segala aktivitas sepakbola. Ini sebagai jaminan bersama agar kompetisi akan berjalan dengan sehat hingga akhir.

Selain itu, menurut saya perlu juga dibentuk semacam tim khusus supervisi pelaksanaan GG yaitu terdiri dari Kemenpora, BOPI, PT. LI dan pihak independen untuk terus memantau agar klub dan kompetisi dapat berjalan sehat secara finansial, dan GG dipraktekkan dengan baik sampai kompetisi berakhir.
Akhirnya, dengan instrumen aturan, pelaksana dan pengawasan stakeholder, GG sepakbola Indonesia saat ini boleh dikatakan sudah memasuki tahap implementasi. Inilah titik balik, inilah optimisme realistis. Dari sinilah ke depan kita akan diuji konsistensinya dalam terus membangun perbaikan sepakbola Indonesia. Ini perjuangan sesungguhnya, yang kata orang butuh waktu yang sangat panjang. Untuk apa? Untuk membeku, bukan dibekukan, tapi membeku dalam keabadian sejarah dengan torehan prestasi timnas sebagai titik tertinggi pencapaian buah dari kompetisi dan klub yang sehat dalam praktek penerapan GG dan prinsip-prinsipnya. Semoga.

===
* Penulis adalah penikmat kajian Sport Integrity khususnya Sepakbola. Menggawangi Save Our Soccer. Twitter @apungwidadi
Disadur dari detiksport.com

Comments

Popular Posts