Beberapa waktu
lalu saya mendengar seorang kolega (buseeet bahasanya kolega) yang mengatakan
bahwa keponakannya ditolak masuk ke Sekolah Dasar (SD) karena tidak (belum) bisa
membaca.
Kemudian saya
mendengar cerita tentang Bule Australia yang katanya lebih takut anaknya tidak
bisa mengantri daripada tidak bisa matematika. Alasannya, dibutuhkan waktu 12
tahun agar anak bisa mengantri dengan benar dan memahami pesan moral dibalik
budaya mengantri, sedangkan untuk menjadi pandai matematika, hanya dibutuhkan 3
bulan kursus dengan intensif.
Kemudian
terdengar lagi anak SD membanting temannya hingga tewas karna meniru acara
Sm*ckDown di televise.
Saya
sudah lama terusik dengan hal-hal seperti ini, sampai mengendap di kepala saya.
Kenapa keadaan pendidikan di Indoensia seperti ini. Pendidikan malah mencetak
orang-orang yang (maaf) “bodoh”. Maka dengan kejadian itu saya menyadari
kekacauan system pendidikan kita. Walaupun dangkal, saya punya beberapa
hipotesis (tsaaah) tentang masalah tersebut. Untuk mempermudah, akan saya
gunakan kasus-kasus diatas sebagai bahan studi kasus.
Tidak Bisa Masuk
ke SD karena belum bisa Membaca
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Sekolah adalah :
sekolah/se·ko·lah/ n 1 bangunan atau lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut
tingkatannya, ada) -- dasar, --
lanjutan, -- tinggi; (menurut
jurusannya, ada) -- dagang, -- guru,
-- teknik, -- pertanian, dsb:keluar -- , sudah tidak belajar
di sekolah lagi; pernah duduk di
bangku -- , pernah
belajar di sekolah; tidak makan -- ,
cak tidak mendapat
pendidikan di sekolah; tidak terpelajar; 2 waktu atau pertemuan
ketika murid diberi pelajaran: -- mulai pukul
setengah delapan pagi; 3 usaha menuntut kepandaian
(ilmu pengetahuan); pelajaran; pengajaran: ia hendak
melanjutkan -- nya ke Jakarta; -- nya tinggi, sudah banyak mendapat
pelajaran; sudah masak --
nya, sudah
pandai benar; 4 cak belajar di sekolah;
pergi ke sekolah; bersekolah: mengapa engkau
tidak -- hari ini?;
Intinya
sekolah adalah tempat untuk belajar.
Maka ketika terdengar bahwa ada yng tidak bisa masuk sekolah karena
belum bisa membaca, itu adalah hal yang aneh dan lucu sekali.. Jika dirunut
mungkin akan seperti pertanyaan, lebih dulu mana, ayam atau telur? simak hal
berikut.
Kenapa
gak diterima di sekolah? Belum bisa baca
Kenapa
kamu sekolah? biar bisa baca
udah
bisa baca? belum. Yaudah sana
sekolah. Gak diterima. Gak bisa baca. makanya sekolah. Gak diterima. gitu terus sampe presidennya
ganti 7x.
Sangat
aneh ketika seorang anak tidak diterima masuk sekolah karena belum bisa
membaca, sedangkan dia masuk sekolah itu lah tempat harusnya dia belajar
membaca.
Mungkin
sebagian anda akan menjawab. Kan udah diajarin di TK.
Oke,
mungkin dasar-dasar membaca ada di Taman Kanak-kanak, tapi apa anda tidak
sadar, kenapa TK disebut TAMAN kanak-kanak? kenapa taman?
Menurut
KBBI, Taman kanak-kanak adalah jenjang pendidikan prasekolah untuk
kanak-kanak (yg berumur 3—6 tahun);
PRASEKOLAH !!!
Okelah ini juga jenjang pendidikan, tapi ini
tetap PRASEKOLAH, dan ini adalah TAMAN kanak-kanak, yang nama nya taman ya
tempat bermain. Dulu banyak yang tidak masuk TK pun bisa langsung SD kok, gak
ada masalah.
Kekacauan tambahan nya adalah, sekarang, beban
yang di emban TK di serahkan ke PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Ini lebih
ngawur lagi, dan saya pun tidak heran ternyata di PAUD juga di ajarkan membaca
dan menulis. Saya takjub ketika anak2 usia bayi sudah bisa mengeja dan membaca.
Mungkin di Indoensia itu di katakan hebat, tapi saya yakin bahwa sesuatu yang
tidak pada tempatnya akan ada dampak tidak baik nya.
Dan jika ditinjau, sebenarnya mereka tidak juga
mengerti, apa yang mereka bisa itu adalah hafalan, seperti kita tau hafalan
anak kecil itu memori nya jauh lebih kuat. Saya punya pengalaman, bermain
dengan anak2 usia ini, saya tunjukkan jari telunjuk dan jari manis (symbol peace), saya Tanya, ini berapa ,
dijawab, dua. Lalu saya ubah, jari telunjuk dan jempol, mirip symbol The
Jakmania (jumlahnya tetap dua) lalu saya Tanya lagi, ini berapa, dijawab,
TUJUH. See, mereka tau, pintar, tapi
hanya hafal, bukan paham. mereka membaca menulis dan menghitung berdasarkan
symbol dan hafalan yang di dengar, bukan lagi proses kenapa ini satu dua tiga…
Dibutuhkan waktu
12 tahun agar anak bisa mengantri dengan benar dan memahami pesan moral dibalik
budaya mengantri, sedangkan untuk menjadi pandai matematika, hanya dibutuhkan 3
bulan kursus dengan intensif.
Orang Indonesia mungkin harus terprogram bahwa
kalau mau maju, harus belajar keras, gak boleh main-main, belajar belajar
belajar tapi hanya tentang eksakta, sains ekonomi. Moral dan agama? Malah mulai
dihilangkan dan menjadikan Negara dengan budaya paling beragam di dunia ini
menjadi sekuler. eh…tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.
Kenapa pelajaran moral, kedisiplinan, dan agama
lebih penting daripada sains dan eksakta?
Sekarang kita coba bandingkan Indonesia dengan
salah satu Negara paling disiplin di dunia, Jepang.
Apakah di Jepang ada gelandangan?
Apakah di Jepang ada Koruptor?
Jawabannya, tentu ADA.
Tapi kita lihat bedanya.
Gelandangan di jepang akan menolak jika di beri
uang oleh orang, walaupun mereka harus mengorek tempat sampah untuk makan.
Banyak orang yang tertangkap korupsi memilih
bunuh diri (harakiri) karena malu telah berbuat korupsi.
Sekarang kita bicara Indonesia,
Apakah koruptor di Indoensia Bodoh dan
berpendidikan rendah?
Kenapa banyak bekas gelandangan yang diikutkan
program transmigrasi lebih memilih kembali ke kota asal dan mengemis daripada
berjuang di tempat baru?
Jika anda bertanya, kaitannya apa dengan
pendidikan di Indonesia. Berarti mungkin anda korban system pendidikan jika
gagal menangkap maksud yang saya sampaikan.
Anak SD membanting
temannya hingga tewas karna meniru acara Sm*ckDown di televise.
Saya ingin bernostalgia, waktu saya kecil, acar
smackdown tidak di tayangkan pada malam hari seperti sekarang. Dulu, acara
banting bantingan ini tayang di minggu siang setelah acara kartun anak anak
(dulu acara kartun hari minggu masih melimpah dari pagi sampai siang). Saya
juga hampir tiap minggu nonton, dan seperti layaknya anak kecil, saya juga
meniru acara ini. Ya, saya juga meniru acara banting bantingan smackdown, tapi
ada bedanya.
kami sama seperti anak anak yang meniru acara ini
sekarang, sama sama anak anak, BEDANYA, saya tidak bodoh, saya tahu jika
dibanting itu sakit. Maka saya main smackdown di tumpukan jerami padi (kemudian
pulang dengan gatal-gatal). Dan sampai detik ini, tidak ada teman yang tewas
karna saya smackdown.
Kami sama-sama anak kecil, kami sama-sama main
smackdown, kami sama-sama banting-bantingan. Tapi kami berbeda, nalar saya
jalan, dan anak-anak sekarang tidak. Kenapa?
Jika ditanya tambah kurang pembagian perkalian
saya juga bias tapi dengan memproses. Bukan menghafal. Saya paham, bukan hafal.
Kaitan nya dengan system pendidikan?
Dari uraian di dua bagian sebelumnya, saya sudah
bercerita panjang lebar, dengan intisari bahwa, pembangunan system pendidikan
di Indonesia hanya terfokus pada otak kiri, sedangkan kita berkembang
improvisasi, dan kemampuan survival akan dikerjakan dengan otak kanan.
Jangan paksa anak sekolah seharian, biarkan
mereka bermain, karena itu adalah dunia mereka.
Jangan hanya jejali anak dengan eksakta, tapi
imbangi juga dengan agama.
Pintar itu tidak sesempit juara kelas, rangking
1, dan pandai matematika, pintar itu luas, dan tiap anak punya kepintarannya
masing masing. Tidak perlu disamakan, jadi biarkan mereka asah bakat nya,
sesuai keinginan mereka, bukan anda.
Comments
Post a Comment